Persoalan pangan, bagi
orang Indonesia tidak akan bisa lepas dengan produkberas. Mengkonsumsi beras menjadi kecenderungan penduduk Indonesia. Bahkan ada
istilah ‘belum makan rasanya jika belum makan nasi’. Jawa dan Sumatra menjadi
pusat konsumsi beras di Indonesia, tetapi saat ini kita bisa menemui beras
diseluruh wilayah Indonesia. Sagu, jagung, singkong, ubi yang dahulu terkenal
juga sebagai makanan pokok bagi sebagian penduduk di Indonesia, sekarang sudah
tergantikan dengan beras atau nasi. Beras sudah menjadi barang primer yang
selalu dicari orang. Saat
ini konsumsi beras di Indonesia 316 gram per kapita per hari, padahal
seharusnya cukup 275 gram per kapita. Terlalu banyak Indonesia mengonsumsi beras karena kebutuhan beras di Indonesia per bulan mencapai 2,7-2,8
juta ton. Sementara konsumsi umbi-umbian prosentasenya kecil dan menurun.
Lahan pertanian di Indonesia memang dianggap subur, sehingga padi mudah ditanam dan
menghasilkan beras yang jumlahnya berlimpah. Tetapi sekian banyak penduduk
Indonesia yang banyak mengkonsumsi nasi, menyebabkan
kebutuhan beras selalu tidak tercukupi sehingga Indonesia masih harus mengimpor
beras dari negara lain. Hal inilah yang kemudian mengasumsikan bahwa Indonesia harus mengimpor
beras dari banyak negara agar pasokan beras aman dan mampu mencukupi kebutuhan
masyarakat. Aman secara kuantitas barangkali menjadi alasan kuat dan logis,
namun aman secara berkualitas dari aspek kesehatan masih perlu mendapat kajian,
mengingat bahwasannya produksi beras dunia saat ini masih sangat tergantung
dengan pasokan pupuk dan pestisida kimia sistetis yang dalam jangka panjang
berpengaruh terhadap kesehatan manusia.
Sementara di sisi lain potensi umbi-umbian lokal yang ada
di pedesaan sangat tinggi dan belum dioptimalkan sebagai bahan pangan. Bahan
pangan diasumsikan bukan sekedar sebagai bahan utama pengganti beras, tetapi
juga sebagai sumber pangan olahan. Seperti diketahui bahwa rata-rata konsumsi umbi-umbian hanya 40 gram
per kapita per tahunnya.
Potensi umbi-umbian sebagai subtitusi pangan dan bahan olahan penting menjadi
perhatian banyak pihak mengingat secara nasional bahan pangan ini mampu
mensejajarkan diri dengan beras. Secara ekologi, umbi-umbian sangat adaptif
dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, namun demikian umbi-umbian juga adaptif
dengan pemberian pupuk terutama organik untuk meningkatkan hasil. Persoalannya
adalah potensi dari tanaman umbi-umbian masih sering terabaikan dan sumber
pangan dari umbi dianggap tidak bergizi bahkan kadang-kadang dianggap kurang
berkelas. Hal ini juga berpengaruh pada kurang berkembangnya inovasi dan
teknologi dalam budidaya dan pengolahan pangan yang bersumber pada tanaman
umbi.
Beberapa pihak mengatakan baik jika makanan pokok khas
masing-masing daerah ‘diuri-uri’ kembali dan tidak lagi mempertahankan kebiasaan
beras menjadi satu-satunya makanan pokok orang Indonesia. Bila demikian
dapatkah keanekaragaman makanan lokal di
Indonesia seperti sagu, ubi, singkong, jagung, dan yang lain menjadi makanan pokok
penduduk Indonesia (lagi)? Gerakan mengembangkan keanekaragaman pangan lokal tampaknya perlu dikembangkan lagi agar kebutuhan
pangan masyarakat kita dapat tercukupi dan tidak perlu tergantung dari negara
lain.
Penulis : Muladiyanto